Minggu, 27 September 2015

Desa Sukasari


Desa Sukasari sedang berduka. Karena hujan deras
terus-menerus
selama
tiga hari, tanah longsor menimpa
permukiman warga yang berada di lereng bukit. Tidak sedikit
rumah penduduk yang dilanda longsor, bahkan longsor juga
menelan korban warga yang terkenal damai itu.
Kejadian berawal dari hari Senin pagi (tanggal 15 Januari
2013), tanah di lereng bukit sudah banyak yang terkikis karena
air hujan. Sudah sejak Jumat malam hujan terus-menerus
turun di Desa Sukasari. Warga masih bertahan di rumah
karena merasa masih cukup aman, tidak akan terjadi apa-apa.
Selasa siang keadaan masih dirasa cukup aman. Selasa sore
hujan semakin deras. Sampai malam hujan belum juga reda.
Karena derasnya hujan, sekitar pukul 20.00 WIB tanah mulai
longsor. Tanah longsor yang berasal dari bukit dan tebing
itu datang tiba-tiba. Banyak warga yang tidak mengetahui
dan menyadari kedatangan longsor itu. Warga mulai panik
menyelamatkan diri. Mereka membawa harta benda yang bisa
diselamatkan. Namun, ada beberapa warga yang tidak sempat
menyelamatkan diri. Mereka tertimbun bersama rumah dan
harta bendanya.
Perkiraan kerugian mencapai ratusan juta rupiah. Tanah
longsor terjadi karena kelalaian warga sendiri. Hutan tempat
menampung air hujan sudah gundul dan tidak berfungsi lagi.
Reboisasi hampir tidak pernah terjadi. Penduduk menebang
hutan tanpa diimbangi dengan penanaman kembali. Penduduk
Desa Sukarsari tidak menyadari bahwa penebangan hutan
yang mereka lakukan selama ini mengkibatkan banjir.
Warga Desa Sukasari tidak dapat berbuat banyak. Mereka
hanya dapat menatap dan menyaksikan apa yang terjadi dan
menimpa mereka. Mereka sadar betul bahwa mereka juga
berperan sehingga longsor terjadi di desa mereka. Kejadian
tanah longsor tersebut memberikan hikmah bahwa manusia
boleh memanfaatkan alam, tetapi juga harus menjaga dan
melestarikan alam. Jika itu dapat dilakukan, hubungan antara
manusia dan alam akan tetap baik dan damai.

Cerpen Penggembala Domba dan Serigala

Penggembala Domba dan Serigala

Alkisah, di
sebuah desa hiduplah seorang anak gembala.
Ia selalu menggembalakan domba milik tuannya di hutan yang
letaknya tidak jauh dari kampungnya. Hutan itu tampak gelap
karena banyak pohon yang daun-daunnya sangat rimbun.
Karena sudah lama tinggal di sana, ia pun mulai bosan. Untuk
mengusir kebosanannya, penggembala selalu menghibur diri
dengan bermain bersama anjingnya. Untuk mengusir sepi, ia
pun sering memainkan serulingnya.
Pada suatu hari ketika ia menggembalakan dombanya,
ia teringat pada pesan tuannya agar dia berteriak meminta
bantuan apabila melihat serigala mengintai dombanya.
Orang kampung akan datang membantu apabila mendengar
teriakan itu. Di tengah sepinya hutan, timbullah pikiran iseng
penggembala domba. Ia membayangkan suatu kelucuan
ketika melihat orang kampung berlari ke arah hutan apabila
dia berteriak. Sekarang anak gembala itu mencobanya.
Walaupun ia tidak melihat seekor serigala, ia berpura-pura lari
Bahasa Indonesia
35
ke arah kampung dan berteriak sekeras-kerasnya, “Serigala,
serigala!”.
Seperti
yang dia duga, orang-orang kampung
yang mendengar teriakannya itu cepat-cepat meninggalkan
pekerjaan mereka dan berlari ke arah anak gembala tersebut.
Akan tetapi, mereka sangat terkejut karena tidak menemukan
serigala dan melihat anak gembala yang berteriak itu tertawa
terbahak-bahak. Anak gembala itu tertawa karena berhasil
menipu orang-orang kampung. Beberapa hari kemudian,
anak gembala itu kembali berteriak, “Serigala! serigala!”,
orang-orang kampung kembali berlari dan datang untuk
menolongnya. Mereka kembali terkejut karena hanya
menemukan anak gembala yang tertawa terbahak-bahak.
Pada suatu sore ketika matahari mulai terbenam, seekor
serigala benar-benar datang dan menyambar domba yang
digembalakan oleh anak tersebut. Dalam ketakutannya, anak
gembala itu berlari ke arah kampung dan berteriak, “Serigala!
serigala!” Akan tetapi, orang-orang kampung hanya diam
walaupun mereka mendengar teriakan anak gembala. Mereka
tidak datang untuk membantu anak itu. “Dia tidak akan bisa
menipu kita lagi,” kata mereka. Serigala itu berhasil menerkam
dan memakan domba yang digembalakan oleh penggembala,
kemudian lari kembali masuk ke dalam hutan.
Kebohongan yang dilakukan anak itu telah merugikan
dirinya sendiri. Ia terpaksa kehilangan domba karena
dimakan oleh serigala. Sendainya ia tidak membohongi
orang kampung, tentu orang kampung akan datang membantu
sehingga dombanya tidak dimakan serigala. Mereka tidak
membantu karena tidak percaya pada teriakan minta tolong
anak itu lagi.

 

Cerpen Tnggal Di Rumah Susun

Tinggal di Rumah Susun

Saya
dan keluarga tinggal di rumah susun yang tidak jauh
dari rumah
orang tua. Tetangga saya, sepasang suami istri yang
tinggal di lantai bawah, suka menyelenggarakan pesta bersama
teman-temannya. Tadi malam mereka mengadakan pesta lagi
dan
sangat
mengganggu kenyamanan kami. Akibatnya, tidak
hanya saya yang terganggu. Ayah, Bunda, serta adik saya pun
ikut terganggu.
Ketika mau berangkat kerja dan mengeluarkan mobil,
saya sangat terkejut karena ada mobil yang terparkir di depan
garasi saya. Pemilik mobil itu memarkir mobilnya seenaknya.
Saya tentu tidak dapat mengeluarkan mobil saya dari garasi
karena terhalang mobil tersebut. Saya mendatangi tetangga
yang tadi malam pesta karena saya mengira mobil itu milik
teman-temannya. Ketika mengetuk pintu dan meminta mereka
memindahkan mobil itu, saya sangat terkejut karena ternyata
mobil itu bukan milik mereka yang ikut pesta. Tanpa pikir
panjang, kemudian saya bertanya kepada tetangga yang lain.
Mereka mengatakan bahwa bukan mereka pemilik mobil itu.
Saya terdiam sejenak sambil berjalan mendekati mobil itu
lagi. Tidak berapa lama kemudian, saya memutuskan untuk
menelepon polisi yang kantornya tidak jauh dari tempat tinggal
saya. Meskipun polisi itu datang dengan cepat, dia tidak dapat
berbuat banyak. Dia juga tidak dapat memindahkan mobil itu
karena tidak memiliki kuncinya. Polisi itu memandang saya
sambil berjalan ke arah mobilnya. Yang dapat dilakukan polisi
itu hanya memberikan surat tilang dan menyelipkannya di kaca
depan mobil.
Pengalaman ini sangat membekas bagi saya. Saya tidak
dapat mengeluarkan mobil saya karena seseorang telah
memarkir mobil dengan semaunya di depan garasi saya.
Polisi yang saya harapkan datang membantu pun tidak dapat
memindahkan mobil itu. Kalau memindahkan mobil itu, saya
harus memecahkan kacanya dan masuk ke dalamnya guna
melepaskan tuas rem tangan. Tujuannya agar mobil dapat
didorong ke tempat lain. Saya hanya dapat menunggu sampai
pemilik mobil itu datang. Agar tidak mengganggu orang lain,
parkirlah mobil di tempat yang sudah disedia!

 

Jerapah dan Kura-Kura

Ada seekor jerapah yang baru beranjak dewasa sedang
makan
di
tengah padang rumput. Namanya Edo. Dia sangat
tinggi dan jangkung. Karena lehernya paling panjang, ia
menjadi sombong. Dia sering mengajak teman-teman (jerapah)
untuk lomba makan daun-daun di pohon yang dahannya sangat
tinggi. Berkali-kali dia memenangi perlombaan makan daun
dari puncak pohon. Hal itu membuatnya semakin sombong.
Dia merasa anak hewan yang paling hebat di kawasan padang
rumput itu. Dia tidak menghormati para jerapah yang sudah
tua, bahkan dia sering mengejeknya dengan sebutan “leher
bengkok”.
Pada suatu hari seekor jerapah tua minta tolong pada Edo.
“Nak, tolong ambilkan nenek daun yang segar di ranting ujung
pohon itu. Nenek sangat ingin makan daun-daun yang masih
muda, hijau, lunak, dan segar. Nenek tidak bisa menjangkau
sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, Nak Edo.”, kata jerapah
tua. Dengan sombongnya Edo menjawab, “Aduh, nenek jerapah,
nenek sudah tua, jangan minta yang macam-macam. Makan saja
daun yang bisa nenek jangkau sendiri. Salah sendiri tidak bisa
ambil daun di pucuk pohon!”. Melihat kelakuan Edo seperti itu,
nenek jerapah pun pergi dengan kecewa. Kesombongan Edo
juga muncul ketika seekor anak burung terjatuh saat sedang
belajar terbang. Burung kecil itu tersangkut di dahan pohon
paling ujung. Edo pun dengan sombong menolak permintaan
teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu. Dia pergi
meninggalkan anak burung yang tersangkut itu.
Pada hari selanjutnya, ketika Edo berjalan sendiri di padang
rumput dengan leher tegak lurus ke atas dan kepala terangkat,
dia berhenti dan tanpa sadar menginjak gundukan yang ternyata
adalah seekor kura-kura tua. Si kakek kura-kura berusaha keras
mengangkat tubuhnya dan berjalan maju selangkah agar Edo
merasa jika kakinya menginjak seekor kura-kura. Ketika Edo
mengetahui bahwa ada seekor kura-kura tua yang terinjak
kakinya, Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf. Dia
bahkan marah-marah sambil berkata, “Dasar kura-kura tua, aku
jadi mau terjatuh kerena menginjak kamu”. Bahkan, karena
kesalnya, Edo menendang tempurung kakek kura-kura sehingga
kura-kura itu terlempar beberapa jengkal. Kakek kura-kura itu
tidak marah. Dengan suaranya yang lembut dia berkata, “Anak
muda, janganlah kamu sombong. Kamu masih muda, tubuhmu
masih
kuat,
sebaiknya sayangilah sesama makhluk hidup
ciptaan-Nya. Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua dan
pasti akan banyak yang lebih hebat dan kuat daripada kamu”.
Edo tidak menghiraukan kata-kata kura-kura tua itu.
Tidak lama kemudian, awan mendung pun datang.
Mendungnya begitu tebal. Edo tidak bergegas pergi
meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur hujan.
Dia masih ingin menunjukkan kesombongannya kepada kakek
kura-kura dengan melenggang santai sambil membandingkan
dirinya dengan si kura-kura yang pendek dan lambat berjalan
itu. Saat itu hujan pun turun sangat deras, diikuti dengan petir
yang saling bersahutan. Karena hujan deras dan tiupan angin
kencang, Edo, si jerapah jangkung itu, ambruk dan terjatuh ke
tanah. Sementara itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam
tempurungnya karena tidak kehujanan dan terhindar dari petir
yang menyambar padang rumput. Si kakek kura-kura dengan
langkah pelan mendekati Edo dan berkata, “Kamu tidak apa-apa,
anak muda? Bangunlah, kenapa diam dan terpana tersungkur
di tanah?”. Edo menatap kura-kura tua yang sudah dihinanya
itu sambil menjawab, “Kakek kura-kura, aku takut. Maafkan
aku karena sudah menginjak tubuhmu. Walaupun kakek
kura-kura sudah tua, tapi tetap kuat. Tempurungmu mampu
menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek kura-kura
karena sudah menendangmu. Aku berjanji tidak akan menjadi
anak yang sombong lagi. Aku akan menolong sesama makhluk
ciptaan-Nya.” Kakek tua tersenyum mendengar perkataan Edo.
Dia sangat senang karena Edo, si jerapah jangkung, sudah
menyadari bahwa sifat sombong itu tidak ada gunanya

 

Cerpen Putri Tangguk

Putri Tangguk

 

Alkisah, di Desa Bunga Tanjung ada seorang perempuan
tua yang
mempunyai huma. Humanya tidak begitu luas, hanya
seluas tangguk penangkap ikan, tetapi hasilnya melimpah ruah.
Putri Tangguk nama perempuan itu. Ia memiliki tujuh orang
anak.
Pada suatu malam, Putri Tangguk dan suaminya sedang
berbincang-bincang tentang masa depan keluarganya. Ketika
itu, ketujuh anak mereka sudah tidur dengan pulas. “Wahai
Kakanda”, kata Putri Tangguk kepada suaminya sambil
menghela napas panjang. “Kita telah bekerja terus-menerus
dan tidak henti-henti menuai padi. Hamba merasa sangat lelah.
Anak-anak kita pun tidak terurus lagi. Lihatlah anak-anak kita
yang tidak pernah lagi berdandan. “Ya,” jawab suaminya sambil
duduk! Kalau itu keinginan Dinda, Kanda tidak akan berhuma
lagi karena ketujuh lumbung padi sudah penuh. Hujan yang
turun malam itu sangat lebat membuat suasana tempat tinggal
Putri Tangguk semakin sunyi.
Keesokan harinya, pagi yang masih dingin tidak
menghalangi niat Putri Tangguk dan suaminya pergi ke sawah
untuk menuai padi. Pekerjaan itu biasa mereka lakukan setiap
pagi demi memenuhi kebutuhan keluarga. Jalan menuju huma
yang mereka tuju sangat licin sehingga Putri Tangguk beserta
suami dan anak-anaknya sering tergelincir. Bahkan, anak-
anaknya ada juga yang terjatuh. Perempuan setengah baya itu
tampak kesal.
“Jalan licin!” terdengar Putri Tangguk menyumpah. “Hari ini
kita tidak perlu lama bekerja. Padi yang tertuai kita tumpahkan
di jalan ini sebagai pengganti pasir. Besok kita masih dapat
menuai padi,” kata Putri Tangguk sambil menggerutu. Hari
itu mereka cepat kembali ke rumah. Padi yang sudah tertuai,
mereka taburkan di sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka
berharap jalan yang selalu mereka lalui tidak licin lagi.
Keesokan malam anak Putri Tangguk terbangun dan menangis
meminta nasi untuk makan. Putri Tangguk pergi ke dapur untuk
mengambil nasi. Ketika tutup periuk dibuka, Putri Tangguk
terkejut karena tidak ada nasi di dalamnya. Kemudian, ia berjalan
menuju lumbung yang digunakan untuk menyimpan beras dan
8
Kelas IX SMP/MTs
padi. Ia sangat terkejut ketika melihat lumbung itu
k
osong.
Dengan setengah berlari, Putri Tangguk menuju lumbung yang
lain. Ia semakin terkejut karena di dalam ketujuh lumbung padi
yang dimilikinya tidak ada sebutir beras atau padi pun. Setelah
menyampaikan apa yang ditemuinya itu kepada suaminya,
Putri Tangguk dan suaminya bergegas berangkat menuju huma
mereka. Akan tetapi, mereka sangat terkejut karena tidak sebatang
padi pun ada di huma mereka. Dalam keadaan sedih, Putri
Tangguk pulang ke rumah. Kesedihannya semakin bertambah
ketika mendengar tangisan anak-anaknya yang kelaparan. Putri
Tangguk jatuh miskin akibat kesombongannya dengan menabur
dan membuang-buang padi semaunya di jalan yang dilewatinya.
Sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, manusia tidak
boleh sombong dan angkuh. Manusia tidak boleh menghambur-
hamburkan kekayaannya karena semuanya merupakan
anugerah dan titipan Sang Pencipta. Putri Tangguk yang pada
mulanya sangat kaya jatuh miskin karena kesombongan dan
keangkuhannya. Ia tidak mensyukuri kekayaan yang telah
diberikan Tuhan kepadanya.

 

Puisi Jalan Kehidupan

Puisi Jalan Kehidupan
Karya: F Maulana Rifa’i
J
alan hidup ini memanglah berliku dan terjal
bagaikan tebing tanpa titian dan pegangan
hanya seutas tali yang di’ikatkan pada pinggang
sebagai penopang agar mampu untuk mendakinya’
kehati-hatian jadi penunjuk jalan’
kewaspada’an jadi sebuah pedoman karna bila
sekali saja terjatuh maka imanlah yang melayang
sekali terjerumus maka keyakinan mulai sirna
“YA ALLAH’’
bimbinglah kami dalam mengarungi perjalan hidup ini
agar kami tak terjatuh dan terjerumus kedalam
jurang kehancuran
yang mungkin kelak menyebabkan diri kami tiada arti
yang pada akhirnya iman dada kami ikut mati’’
“YA ALLAH’’ kuatkanlah tali pengikat keyakinan kami
jangan sampai terputus oleh keada’an
kuatkanlah pijakan kami jangan sampai terpeleset
dan jatuh kedalam jurang kehancuran “YA ROB’’....amiin

Puisi Chairil Anwar

  Chairil Anwar

Pria yang dilahirkan di Medan, Sumatra Utara pada tanggal 26 Juli 1922 ini mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatannya di Majalah Nisan pada tahun 1942. Dan inilah beberapa puisi karyanya:
 
 
 (26 Juli 1922-28 April 1949)
 
TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS 
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu

27 april 1943
DOA
 
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
 
 
 
Itulah beberapa puisi karya Chairil Anwar